Header Ads

Kebahagiaan yang Sempurna


Tangan kasar itu, perlahan memungut botol yang terhampar dedebuan. Perlahan memilah yang layak tuk dipungut, menyulapnya menjadi recehan. Matanya sembab, menahan kejijikan yang mengalun di depan matanya. Hidungnya tertutupi kain rombeng yang tak jelas berwarna apa. Satu botol, dua botol ia masukkan ke dalam ranjang yang menjulang tinggi di punggungnya.

Sesekali ia usap peluh itu tuk tak berganti dengan keluh. Menahan sengatan sang surya yang mulai menyilaukan mata. Rambut yang tertutup topi koboy itu, kini tampak coklat kecoklatan seragam dengan tong sampah yang ada di depannya.

Kini, ia tengah tenggelam dalam peluh yang bercucuran. Membasahi semua apa yang ia kenakan. Topinya teralun-alun menghasilkan sepoi angin yang teregalisir oleh daya. Ia duduk-duduk, menghelakan nafas yang tersedat bau sampah di sekitarnya. Matanya, mengendarai angan yang terlintas dalam benaknya. Membayangkan bagaimana nikmatnya duduk-duduk ria di dalam mobil ber-ac yang sesak oleh parfum yang semerbak. Tak lebih, ia tak berani mendongak lebih jauh. Sekarang, ia membayangkan begitu gagahnya jika ia bisa bertengker ria di atas motor gede nan megah, pastilah ia tampak gagah nan keren. Tetapi, kepulan asap motor butut menyadarkan lamuannya. Membuyarkan bayang yang hanya tersekenariokan oleh khayalan dan bersutradarakan ketidak mungkinan.

Ia kembali bangkit, menghampiri tempat sampah yang ada di depannya. Tak ku temukan goresan kesedihan dalam raut wajahnya. Ia berjalan sambil bersiul ria, dengan jemari-jemari yang di petiknya.
Sudah satu setengah menit ku menanti lampu hijau, satu setengah menit pula ku memperhatikan pemulung itu, astagfirullah bukan pemulung, tapi ku sebut ia Penennun Masa. Ia kembali memilah sesampahan yang ada di sana, di saat itu pulalah, ada sekelompok pemuda yang mengenakan seragam boneka yang selayaknya ondel-ondel menari ria di depan para pengendara yang teranak kebisingan sedari tadi, lumayan tuk menghibur.

Penenun masa itu, kini terpingkal-pingkal menyaksikan boneka-boneka ondel-ondel itu menari. Ternyata ia tak sendiri, di sampingnya terdapat banyak anak-anak yang sama dengan dia, bahkan masih ada yang seusia balita nongol begitu saja dari dalam gerobak. Ia tampak menggemaskan, tersenyum lebar sembari tanganya bertepuk tangan menyaksikan boneka ondel-ondel tersebut. Terlebih, ada ibu-ibu tua yang tersenyum lebar menyaksikannya. Ku lihat, ada dua karung besar yang penuh dengan botol-botol tersandar dengan kakinya.

Lampu hijau datang, mereka pun pergi. Meninggalkan secarik toples yang tersampir di badan jalan, memohon ada pengendara yang enggan tuk memberinya recehan. Pertunjukan pun selesai.
Mataku, masih sibuk memperhatikan mereka. Mereka yang tetap tersenyum satu sama lain, membagikan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Ku lihat pemuda itu menghampiri bocah yang ada di gerobak, mengelus rambutnya seraya mengucapkan sesuatu, tapi entah apa yang ia ucapkan. Tetapi, bocah kecil yang ada di gerobak itu, tertawa renyah dan tangannya mengelus pipi sang pemuda itu.
Ingin ku menyaksikan adegan selanjutnya dari drama yang sangat berharga ini. Tapi, waktu haluan memisahkan adegan selanjutnya. Hanya lalu lalang kendaraan yang mengeruji kebisingan yang tercpta. Serpihan dedebuan pun kini harus bersaing dengan kepulan asap yang membuncah.

Dari mereka, ku sadar. Bahwa kebahagian adalah milik mereka yang hanya bisa mengendalikan keadaan. Kebahagiaan itu bukan alur yang telah terencanakan, tetapi yang direncanakan. Apapun kondisi yang mendera, semuanya bisa menitik kebahagiaan yang terukir. Dengan kesederhanaan pun, ada banyak jalan tuk mendapatkan kebahagiaan itu. Bahkan dengan siapapun, semuanya bisa terukir.
Terlebih, suasana begitu cepat berlalu tanpa pamit. Bisa jadi kebahagian terlukis dan terpajang di hati kita hanya satu menit saja, namun, setelahnya, kesedihan menghantam lukisan kebahaigan kita seketika itu pula. Dan di balik kata syukur, terdapat kebahagiaan yang tak terukur.

By : Eno Aldi


No comments

Powered by Blogger.