Header Ads

Menjadi Jurnalis Multifungsi


Walau saya sendiri tidak mempunyai banyak pengalaman pribadi sebagai seseorang jurnalis, ketika ditanya oleh orang lain ‘Mengapa ingin menjadi jurnalis?’, maka motif yang menjadikan saya ingin menjadi jurnalis adalah sebuah motivasi diri seperti motif yang dinisbatkan kepada para pendahulu, ulama, ustadz, da’i dan aktifis Islam, yaitu motif dakwah karena di dorong oleh suatu kesadaran niat. 

Mengkaji tentang sebuah niat mungkinlah sangat krusial, dalam hal ini, Rasullah bersabda “Sesungguhnya amal-amal tergantung niatnya dan bagi setiap orang memperoleh apa yang diniatinya, Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau menikahi wanita maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia hijrahi” {HR. Bukhari}
Jelas menjadi seorang jurnalis atau calon jurnalis muslim idealnya tidak memiliki motif lain dalam misi seorang jurnalis selain karena Allah “dakwah bil qolam”. Alquran menjelaskan “ Dan hendaklah ada diantara kalian, segolongan umat penyebar dakwah kepada kebajikan: yang tugasnya menyeru berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar. Itulah mereka yang beruntung” {QS.Ali Imran 104}.
Dilihat dari landasan di atas, saya menyadari bahwa seoarang jurnalis merupakan pilihan profesi yang mulia, yang tidak bisa sembarangan orang mengemban profesi ini. Karena beberapa modal dasar diantaranya intelektualitas, kepekaan, keberanian, dan kesabaran. Mungkin dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan para aktivis yang mengemban dakwah dengan jalan lain. Ada beberapa kesamaan modal dan bekal.
Kita mengetahui intelektualitas merupakan modal terpenting dalam masalah jurnalistik. Dimana kita harus menggunakan akal kita untuk berpikir kritis bagaimana cara agar orang orang mau tertarik dengan dakwah yang kita emban. Kita juga menggunakan akal manakala ada orang yang mencoba membantah dan menyangkal dakwah kita. Karena ketika kita menyebar kebaikan, maka akan selalu ada musuh yang menghalangi.
Aktivitas yang paling sering di geluti oleh seorang jurnalis adalah reportase dan mencari berita. Walaupun di sisi lain mungkin kita aktif menulis dan lain sebagainya. Namun tentunya kita juga tidak terlepas dari yang namanya mencari barita. Baik itu melalui reportase atau bahkan wawancara. Disini kita akan membutuhkan yang namanya kepekaan, keberanian, dan juga kesabaran.
Seperti misalnya ketika kita ingin melakukan wawancara. Kita harus memiliki keberanian untuk melobi narasumber, menentukan tempat dan waktu yang tepat. Jika narasumber mengajukan persyaratan yang berbelit belit, kita harus sabar memenuhi persyaratan yang diajukan. Kita juga harus peka dengn penyampaiannya. Mana yang harus di sampaikan di media dan mana yang tidak perlu disampaikan.
Sebuah pendidikan juga bisa diemban oleh seorang jurnalis. Bisa jadi ia mengajarkan ilmu yang ia miliki, atau justru ia menjadi pendidik formal di sebuah forum pendidikan. Namun yang paling sering dijalani oleh seorang jurnalis adalah mengajarkan ilmunya kepada temannya atau merekrut generasi yang akan melanjutkan perjuangannya dengan mengajarkan ilmunya kepada seseorang yang lebih muda.
saya menemukan titik terang, bahwa guru dan wartawan/jurnalis tidaklah berbeda, bahkan kedua sub-profesi ini sama persisnya, yaitu mendidik. Tugas mendidik tidak hanya monopoli dari seorang guru saja, wartawan juga mengemban fungsi mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Bila seorang guru mendidik di ruang kelas, maka seorang jurnalis/wartawan mendidik masyarakat lewat tulisan-tulisanya.
Seorang jurnalis sangat berperan dalam mendidik masyarakat. Dengan karyanya yang disiarkan di media, masyarakat bisa mempelajari kandungan isinya. Dari itu pula seorang wartawan/jurnalis juga turut berperan aktif dalam pembentukan dan perkembangan kognisi masyarakat. Bahkan bisa juga membentuk pola pikir masyarakat melalui karya yang kita siarkan. Tergantung bagaimana karya kita mampu menyihir hati mereka.
Namun tentunya di sini ada kelebihan dan kekurangan masing masing. Seorang guru memiliki banyak kelebihan dibandiangkan dengan seorang jurnalis. Namun juga memiliki banyak kekurangan di sisi lain. Begitu juga sebaliknya, seorang jurnalis juga memiliki banyak kelebihan dibandingkan seorang guru. Dan tentunya juga memiliki kekurangan jika ditinjau dan dilihat dari sisi dan sudut pandang lain.
Ada sebuah perkataan, “jika saya menjadi guru, saya hanya didengar oleh 40 orang. Namun jika saya menjadi jurnalis, maka saya akan didengar oleh ratusan, bahkan ribuan orang.” Mungkin perkataan ini bisa menjadi acuan kita untuk lebih semangat. Karena ternyata menjadi seorang jurnalis itu tidaklah sepele. Mungkin dimata orang yang tidak tahu, seorang jurnalis itu rendah. Tapi mereka tidak tahu, di balik kerendahan itu tersembunyi sesuatu yang luar biasa.
Menjadi seorang jurnalis muslim juga tidak terlepas dari yang namanya berperang di jalan Allah. Melalui perang pemikiran, seorang jurnalis muslim sangat berperan aktif. Bahkan Sayyid Qutub mengatakan, “satu peluru hanya akan menembus satu kepala. Akan tetapi satu pena bisa menembus ratusan kepala.” Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa menjadi jurnalis muslim juga bisa berfungsi sebagai pejuang pertempuran.
[ghulam/sohafy]

No comments

Powered by Blogger.