Indonesia, Aku Bersamamu
Tanganku meraup botol yang terdampar di sisi pantai.
Menatapnya yang menggenang air setenggukan di dalamnya, di baliknya, tersirat
lautan derai awak kapal yang terparkirkan. Ku tatap botol itu yang penuh bercak
lecet di seluruh kujur tubuhnya. Ku yakin ia pasti melewati beribu-ribu
rintangan tuk bisa mendarat. Perjuangan. Menjadi solusinya tuk bisa menjadi
yang disolusikan.
***
Perjuangan, terbayang bagaimana para pejuang tuk berjuang
demi segempal tanah yang diperjuangkanya. Hem, mungkin indah tuk mengenangnya.
Terlebih, melihat kondisi negeri yang mulai ngeri.
Senja ini, sempurna indah berhias dengan jingga, menyemburatkan
cahaya yang kian meneriangkan waktu. Gelapnya malam pun tak mau memisahkan
kebersamaan mereka, yang pasti ia akan mendapatkan umpatan dari sang pecinta
sunrire. Tapi, apalah daya, masa kebersamaan mereka telah usai, dan malam pun
membawa ganti yang tak kalah indahnya dari sang sunset. Yakni, bintang.
Bintang-gemintang yang berkedip-kedip malu jika dipandang. Selesai jua drama
itu, yang hanya menyajikan haru biru yang menyapu senyum. Pilu. Indonesia ku.
Sungguh sangat amatir negeri ini, pembangunan bangunan yang
hanya ditaburi slogan demi slogan. Seolah bangunan Negeri ini hanya cukup
dengan slogan. Memasyarakatkan ini dan itu, menghimbun kemasyarakatan dengan
titah yang tak bertuah.
Justru yang tak berslogan, malah merata keseluruh pelosok
negeri. Kini, memasyarakatkan korupsi dan mengkorupsikan masyarakat. Korupsi
yang begitu dahsyat melanda negeri, tak jua menjadi musuh yang yang harus
ditumpahkan darahnya.
Rakyat malah terus hidup kesusahan, menerima kenestapaan
yang tak menyisakan senyuman. Di depan mata, pemerintah malah bercakap ria
dengan rakyat apartide. Bersalaman tanpa canggung di depan massa dengan rakyat
bipartide, menambah pilu raktyak yang menyeaksikan.
Jika negara menjadi
kuat, bahayanya menjadi tirani. Pemerintah menjadi raja. Jika raja bertitah,
rakyat tak berani cegah. Jika raja tersinggung, rakyat menjadi penanggung.
Hemt, sempurna memang kepiluan ini. Jika negara lemah, bahayanya menjadi
santapan para penguasa. Kenapa penguasa? Karena terjadi kolaborasi ‘penguasa
dan pengusaha.
Yang lebih parah, jika pengusaha menjadi penguasa. Tapi,
yang lebih parah lagi. Jika, penguasa menjadi pengusaha. Hal ini akan menjadi
super parah, Karena negeri akan mengalami ketenggalam dalam segalanya.
Beribu-ribu titik perintah, sepontan menjadi satu titik perintah yang tanpa
bisa dicegah.
Konsep pemerintahan, bak sama dengan konsep alam yang ada.
Malam dan siang, pagi dan sore. Semuanya, memiliki hak cipta yang berbeda.
Malam dan siang berkolaborasi dengan penatnya pekerjaan yang terdampar. Pagi
dan sore, berkolaborasi dengan tenangnya pekerjaan yang sunyi.
Dan sekarang, kita semua menjadi rakyat yang merakyat.
Menguap angan yang tersekenariokan pemerintah. Membayang dalam buaian khayalan
yang tercipta dari bualan pemerintah. Tak ada yang lebih, semuanya hanya
menjadi empati yang tanpa simpati. Bahkan picingan mata pun tidak.
Sekarang, jangnalah berharap mendapat telapak tangan yang
terbalik darinya. Jangan pula melestarikan hujatan yang tanpa solusi. Tapi,
berusahalah menjadi tameng kebersamaan tuk menjaga kesatuan dan menghadap.
Cukup indah Indonesia ini, bahkan sangat indah. Tentu, Daku
tak akan rela jika keindahan ini hanya menjadi hiasan di balik jendela para
penguasa, dengan bantuan para pengusaha.
Tapi.seluruh keindahan ini harus menjadi kepemilikan bersama rakyat yang telah menetap menjadi ius sanguinis asli. Maka, sisingkanlah lengan bajumu tuk meraup kebahagiaan dari kenestapaan. Siapkanlah usahamu tuk menjadi solusi yang meraup revolusi. Bismillah.
***
Ku timbang-timbang botol itu, ku pandangi sebentar dan baru
kemudian ku lempar ia ke lautan lepas, lepas bersamu ombak yang bersemu dengan
buana. Hemt, entah kemana botol itu akan pergi, entah pula siapa lagi yang akan
memungutnya dari sisir pantai, dan terlebih, entah di pantai mana.
By : Eno Aldi
Post a Comment