Bagai Perahu Karam Sebelah
BAGAI perahu karam sebelah, peribahasa yang patut dilekatkan
dalam hukum Indonesia. Tapi, kenapa yang karam islam ? padahal Indonesia negeri
populitas islam terbesar di dunia ? ini yang menjadi PR bersama bagi para yuris
di negeri yang katanya negeri hukum.
"Memang asal muasal soal speaker itu mungkin butuh
komunikasi lebih baik lagi untuk acara-acara seperti itu,” dikutip dari jpnn.com,
Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Sungguh miris memang.
Sebuah negeri yang mayoritas beragama islam, namun islam lah yang diminoritaskan.
Sebuah anomali yang merajalela di negeri ini.
Pada 17 juli 2015, bertepatan dengan hari raya iedul fitri.
Umat muslim di Tolikara digemparkan dengan pembakaran masjid yang digunakan
untuk sholat iedul fitri. Sontak kejadian ini menyayat hati kaum muslimin
Indonesia, terkhusus umat islam tolikara sendiri. Bagaimana tidak ? di saat
seluruh umat islam Indonesia, bahkan dunia merayakan hari yang penuh haru,
gembira dan penuh maaf. Harus dicacati dengan kebengisan umat Kristen yang
tidak rela dengan diadakanya sholat iedul fitri tersebut.
Tapi, lagi-lagi. Umat islam yang terlukai mereka pula yang
tersudutkan. Jusuf kalla memberi statmen bahwa penyebab kerusuhan tersebut
adalah speaker masjid yang terlalu keras.
Kabar ini tak
bertahan lama, tidak seperti berita angelin yang sangat panas. Bahkan diusut
hingga tuntas. Tidak seperti trio bom
bali, yang berakhir dengan hukuman mati.
Mereka seakan tuli akan teriakan muslim tolikara, mereka
seakan buta dengan penderitaan muslim tolikara, mereka seakan bisu untuk
mengungkapkan kepada publik bahwa ini termasuk tindakan terorisme. Ya, mereka
para media dan tokoh. Hanya segelintir media dan tokoh yang mengungkapkan secara
konkrit.
Bahkan, ada oknum yang memaklumkan insiden itu dan meminta
supaya dihukum secara adat.
Ini jelas merugikan kaum muslimin, namun sedikit respon dari
pemerintah.
Lain hanya dengan kasus yang belum lama terjadi, pembakaran
gereja. Pembakaran ini terjadi di Singkil, Aceh pada selasa (13/10). Berita ini
begitu meledak !, para tokoh-tokoh yang
pada saat kasus tolikara bungkam, kali ini mereka membuka mulut
sebesar-besarnya mengatakan bahwa itu perbuatan main hakim sendiri, harus
ditindak tegas, dan adil.
Pertanyaanya, Kemana orasi-orasi mereka saat terjadi insiden
tolikara ?, apakah ini keadilan yang selama ini katanya menjadi prinsip ?
Mustofa Nahra memberi komentar tentang insiden ini
bahwa kebiasaan para tokoh adalah mereka
diam saat yang dirugikan islam, namun bersuara saat islam lah yang menjadi aktor.
“kebiasaan para tokoh
(tidak menyebut nama) itu selalu tidak adil dalam melihat kasus intoleransi. Banyak
sekali tokoh itu kalau yang terbakar itu masjid mereka malu untuk mnegungkapkan
keprihatinanya tapi kalau yang terbakar gereja mereka dengan berlomba ‘
‘fastabiqulkhoirot’. Mereka kemudian mengumumkan keprihatinanya, mengutuk
pembakaran itu bahkan mereka tidak malu-malu melakukan jumpa pers untuk
melakukan aksi keprihatinan bersama . Ini yang terjadi sekarang, ketika
tolikara meledak pembakaran, tokoh ini nyaris tak terdengar suaranya. Begitu
yang terdengar gereja di singkil ini terbakar semua keluar kandang, ini adalah
sebuah ketidakadilan melihat intoleransi padahal sama saja.” katanya saat
diwawancarai di Jakarta pada (15/10).
Presiden jokowi menegaskan, penegakan hukum juga harus
dilakukan dengan tegas sehingga peristiwa serupa tak terulang.
Menurut Presiden Jokowi, kekerasan atas nama apapun, apalagi berlatar agama dan keyakinan bisa merusak kebhinekaan tunggal ika. Dikutip dari ROL.
Menurut Presiden Jokowi, kekerasan atas nama apapun, apalagi berlatar agama dan keyakinan bisa merusak kebhinekaan tunggal ika. Dikutip dari ROL.
Sekali lagi, kenapa presiden kita baru mengatakan ini ketika
yang terbakar gereja?
Penulis: Taufiq
Post a Comment