Header Ads

Singkil-Tolikara: Anomali Pendekar HAM dan Presiden Kita

Peristiwa pembakaran tempat ibadah akhir- akhir ini menjadi permasalahan umat beragama diseluruh Indonesia.  Contohnya saja, pembakaran yang terjadi di Tolikara dan Aceh Singkil. Di Tolikara masjid dibakar oleh GIDi saat pelaksanaan solat Idhul Fitri pada Jumat, 17 Juli 2015. Sedangkan,  terjadi pembakaran gereja ilegal  oleh warga setempat pada selasa 13 Oktober 2015.

Seperti diketahui, beredar surat berisi pelarangan shalat Idul Fitri di Kabupaten Tolikara oleh GIDI. Surat tertanggal 11 Juli itu juga melarang wanita muslim menggunakan jilbab. Perayaan Idul Fitri hanya diperbolehkan di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura. Pelarangan itu terkait pelaksanaan Seminar dan KKR Pemuda GIDI tingkat Internasional pada 13-19 Juli 2015. 

Mungkin frem dalam peristiwa sama-sama pembakaran. Tetapi motif berbeda. Pada kejadian Tolikara GIDi beralasan bahwa toa saat solat  i’dh menganggu mereka. Sedangkan pada peristiwa Aceh Singkil warga beralasan bahwa gereja tersebut ilegal. Hal itu dibenarkan oleh Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), bahkan PGI menjelaskan bahwa masih ada 24 gereja ilegal disana. 

Namun, dalam penanganan kasus tersebut terdapat anomali. Karena adanya timbang pilih dalam pelaksanaan dan penegakan hukum. Contohnya saja, Presiden Jokowidodo  langsung memberi tanggapan serius terhadap pembakaran gereja di Aceh Singkil.  Dalam akun twitternya Jokowi menulis, “Hentikan kekerasan di Aceh Singkil, kekerasan berlatar apapun. Apalagi agama dan keyakinan merusak kebhinekaan- Jkw”  tanggapan Jokowi pada 14 Oktober 2015.

Reaksi serupa tidak kita temui pada peristiwa Tolikara. Pada saat I’dul Fitri Jokowi tidak menulis apapun kecuali ucapan selamat I’dul Fitri pada malam hari raya.

Anomali selanjutnya ialah, disaat diundangnya GIDi ke istana negara. Sungguh mengejutkan, GIDi mendapatkan perlakuan istimewa dan mengeluarkan keluhannya dihadapan presiden dan perwakilan ormas islam disana. Ini merupakan tindakan tegas sebagai bentuk konfirmasi dalam permasalahan bangsa. Tetapi mengapa hal serupa tidak pernah tejadi disaat berbagai dugaan kasus menyangkut seoerang muslim. Lebih mengejutkan lagi, permintaan GIDi untuk pembebasan 2 orang pelaku Tolikara dikabulkan. GIDi beralasan bahwa pembebasan 2 orang tersebut akan menimbulkan ketenangan. Pembebasan itu dibenarkan oleh Mapolda Papua, yang menyatakan 2 tahanan itu berubah status menjadi tahanan kota.

Akan tetapi, pada kasus pembakaran gereja ilegal di Aceh Singkil belum ada tindakan istimewa yang diberikan kepada pelaku. Manakah letak keadilan dan mengapa pendekar HAM  tidak begitu peduli akan anomali kasus ini.
  

No comments

Powered by Blogger.